Anak kecil itu bermain pasir di
Pantai Bira, sesekali dia duduk dan mengambar muka kedua orang tuanya
dihamparan pasir putih. Bulukumba kampung anak kecil itu disanalah dia lahir
dari rahim seorang perempuan yang tegar yac Putri panrita lopi perempuan yang “nantinya”
berdampingan dengan laki-laki yang tidak pernah merasa kalah dari kerasnya
cobaan yang dia (2) lewati. Terombang ambing di Laut Biru diantara pulau
Abdesir dan Pulau Sunu. [2012]
Saya membuka lembaran Novel yang
bersampul Hijau-Hitam Itu lagi.
Inilah Rindu yang pecah pada
wajah anak kecil itu yang mulai tumbuh dewasa disana BULUKUMBA dibesarkan oleh
nenek-nya. Inilah jalan yang dipilih oleh kedua orang tua-nya menitip anak
kecil di BULUKUMBA untuk tumbuh besar.
Ooooo Dg Le” dan Om Rutta tentu
juga merasakan hal yang sama bagaimana Rindu ini datang tanpa kereta Malam..
hahahaha [sedikit kita sentuh kereta malam].
Kami harus bersabar Menunggu
Perahu Pinisi Terakhir itu besar.
Nenek-nya bertitah kalau dia
lebih tau perahu yang tangguh itu dibuat dan dibangun. Ketahanan perahu pinisi
tidak bertumpuh pada jenis kayu-nya tapi semangat dan keringat harapan buat
perahu itu kelak sehingga bisa melewati ombak sehingga kita semua tak perlu
kuwatir dengan tinggalnya anak kecil itu di BULUKUMBA karena anak kecil itu
hari-harinya dia bermain di mesjid Syuhada, Tepat disamping rumah nenek-nya.
(kuncinya adalah Perahu pinisi dan Mesjid)
SAMPAI KETEMU DIBENUA BIRU. ANDI
TENRI PETTA PHIA “ATEPHIA”
SALAM RINDU UNTUK BULUKUMBA
ANERA/9-4-15