Minggu, 12 April 2015

Atephia II

Anak kecil itu bermain pasir di Pantai Bira, sesekali dia duduk dan mengambar muka kedua orang tuanya dihamparan pasir putih. Bulukumba kampung anak kecil itu disanalah dia lahir dari rahim seorang perempuan yang tegar yac Putri panrita lopi perempuan yang “nantinya” berdampingan dengan laki-laki yang tidak pernah merasa kalah dari kerasnya cobaan yang dia (2) lewati. Terombang ambing di Laut Biru diantara pulau Abdesir dan Pulau Sunu. [2012]
Saya membuka lembaran Novel yang bersampul Hijau-Hitam Itu lagi.
Inilah Rindu yang pecah pada wajah anak kecil itu yang mulai tumbuh dewasa disana BULUKUMBA dibesarkan oleh nenek-nya. Inilah jalan yang dipilih oleh kedua orang tua-nya menitip anak kecil di BULUKUMBA untuk tumbuh besar.
Ooooo Dg Le” dan Om Rutta tentu juga merasakan hal yang sama bagaimana Rindu ini datang tanpa kereta Malam.. hahahaha [sedikit kita sentuh kereta malam].
Kami harus bersabar Menunggu Perahu Pinisi Terakhir itu besar.
Nenek-nya bertitah kalau dia lebih tau perahu yang tangguh itu dibuat dan dibangun. Ketahanan perahu pinisi tidak bertumpuh pada jenis kayu-nya tapi semangat dan keringat harapan buat perahu itu kelak sehingga bisa melewati ombak sehingga kita semua tak perlu kuwatir dengan tinggalnya anak kecil itu di BULUKUMBA karena anak kecil itu hari-harinya dia bermain di mesjid Syuhada, Tepat disamping rumah nenek-nya. (kuncinya adalah Perahu pinisi dan Mesjid)
SAMPAI KETEMU DIBENUA BIRU. ANDI TENRI PETTA PHIA “ATEPHIA”
SALAM RINDU UNTUK BULUKUMBA
ANERA/9-4-15


0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.